RESTORATIF JUSTICE, upaya lindungi perempuan dan anak
Abu Kholil, ST 30 Juli 2019 16:13:35 WIB
Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.
Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun sayangnya, sistem formil tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum.
Lihatlah bagaimana contoh kasus yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta. Kasus dimaksud tentang dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri. Kedua belah pihak yakni dua pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun polisi berbalutkan atribut penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus tersebut hingga sampai ke pengadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.
Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal oleh masyarakat luas ialah kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Jangan juga kita lupakan kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang kemudian harus berujung di meja hijau.
Kepentingan Korban serta Pelaku
Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan.
Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity rutan dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. Lapasseolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolahlapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.
Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam kasus yang pernah dialami oleh LBH Mawar saron Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan di atas, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman yang melibatkan para pelaku yang notabene masih berstatus pelajar SMP. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana (criminal justice system), kilah penegak hukum pada umumnya.
Konsep seperti inilah yang tidak memberi perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat. Suatu pengantar yang cukup dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice Sytem di Indonesia.
Pendekatan restorative justice
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
Untuk melindungi anak - anak yang terjerat kasus kriminal serta menyelamatkan masa depan mereka, maka tim dari Dinas Sosial bersama tim Pelindungan Perempuan dan Anak Polres Trenggalek. yang dilaksanakan di Aula Kantor Kecamatan Suruh. Kegiatan ini melibatkan pihak desa dan BKTM serta Babinsa serta unsur masyarakat lain
Komentar atas RESTORATIF JUSTICE, upaya lindungi perempuan dan anak
Formulir Penulisan Komentar
Layanan Mandiri
Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.
Masukkan NIK dan PIN!
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Jumlah pengunjung |