Desa Mlinjon, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek, menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai, salah satunya adalah seni jaranan. Kesenian ini memiliki makna yang mendalam dalam budaya masyarakat Jawa Timur, khususnya warga Desa Mlinjon. Seni jaranan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi sarana ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman masyarakat.
Selain sebagai media ekspresi, seni jaranan juga memainkan peran penting dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, seperti pernikahan, khitanan, dan panen. Dalam konteks ini, kesenian tersebut berfungsi sebagai bentuk permohonan perlindungan dan berkah dari Tuhan. Nilai-nilai spiritual, sejarah, dan identitas lokal yang terkandung dalam pertunjukan ini menjadikan seni jaranan bagian penting dari warisan budaya masyarakat Mlinjon.
Salah satu tokoh sentral dalam pelestarian seni jaranan di Desa Mlinjon adalah Mbah Marjidi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Jidhek. Beliau merupakan sosok yang pertama kali mengenalkan kesenian ini kepada masyarakat setempat. Lahir pada tahun 1951 di Desa Mlinjon yang saat itu masih termasuk wilayah Kecamatan Karangan Mbah Jidhek tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi dan budaya lokal. Ketertarikannya terhadap seni jaranan muncul sejak usia dini.
Pada saat duduk di kelas 4 sekolah dasar, Mbah Jidhek mulai mempelajari seni jaranan bersama tiga temannya. Mereka berguru kepada seorang dalang terkenal dari Kecamatan Dongko bernama Mbah Dalang Jamun. Dari sinilah dimulai perjalanan spiritual dan kebudayaan Mbah Jidhek dalam dunia jaranan. Komunitas kesenian yang mereka bentuk awalnya diberi nama Jaranan Pegon Malasan.
Seiring berjalannya waktu, semangat untuk menekankan nilai-nilai budaya dan spiritual dalam kesenian semakin kuat. Maka pada tahun 1971, komunitas tersebut berganti nama menjadi Santerewe Turonggo Ratibudoyo. Nama ini memiliki makna filosofis yang mendalam, Turonggo berarti tumpakan atau titihan yang menyampaikan pesan, Rati berasal dari kata rakitane atau tintingane, yang bermakna terstruktur dan harmonis, dan Budoyo berarti kebudayaan yang dijalankan dengan keikhlasan dan ketulusan hati. Selain mengembangkan seni jaranan, Mbah Jidhek juga turut memperkenalkan unsur seni lainnya seperti campursari, yang memadukan musik tradisional dan modern.
Dalam setiap pementasan, acara biasanya dibuka dengan lagu pengantar yang penuh makna, “Poro miarso, monggo sami amriksani piarane Turonggo Ratibudoyo, mijil saking Deso Mlinjon, Dukuh Miri, tumindak lan penak kang dipimpin Mbah Marjidi, monggo sami a ningali, mugi Ratibudoyo tetep jaya selaminyo.” Namun, perjalanan kesenian ini tidak selalu berjalan mulus. Sejak tahun 2019, aktivitas kesenian jaranan di Desa Mlinjon mulai meredup, terutama karena dampak pandemi COVID-19 yang membatasi kegiatan masyarakat, termasuk pertunjukan seni dan budaya. Setelah pandemi mereda, upaya untuk menghidupkan kembali kesenian ini mulai dilakukan, namun antusiasme masyarakat khususnya generasi muda tidak lagi seperti dulu. Minimnya regenerasi menjadi tantangan serius. Banyak anak muda lebih memilih merantau atau tidak tertarik pada kesenian tradisional, menyebabkan jumlah pelaku seni semakin berkurang.
Menghadapi situasi tersebut, Mbah Jidhek menyampaikan pesan penting kepada generasi muda, “Lestarikan kesenian yang ada sekarang ini, supaya tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Jangan sampai kesenian ini hilang, karena kesenian ini juga merupakan peninggalan dari Sunan Kalijaga, yang dahulu menggunakan seni jaranan sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Ini adalah bukti perjuangan beliau, yang seharusnya kita jaga dan rawat bersama.” Pesan itu ditutup dengan nasihat khas Jawa yang sarat makna, “Dadi wong Jowo ojo lali roso, rumongso, sing ngroso.”
(Menjadi orang Jawa jangan melupakan rasa, kesadaran diri, dan empati terhadap sesama serta budaya kita.)
Melalui kisah Mbah Jidhek dan komunitasnya, dapat disimpulkan bahwa seni jaranan di Desa Mlinjon bukan sekadar warisan budaya biasa, tetapi merupakan simbol perjuangan, nilai spiritual, dan identitas lokal yang patut dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.