Sampah merupakan suatu barang sisa maupun hasil buangan dari masyarakat ataupun industri yang sudah tidak memiliki guna, baik berbentuk padat, cair, maupun gas (Riduan, 2014). Menurut UU No 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan proses alam yang berbentuk padat atau semi padat, baik organik maupun non-organik, yang dianggap tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan. WHO mendefinisikan sampah sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau dibuang oleh manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Masalah limbah sampah adalah salah satu dari isu yang hingga kini masih menjadi permasalaqhan bagi manusia dan lingkungan.Sampah telah menjadi masalah yang lazim ditemukan diberbagai wilayah. Masalah sampah hadir bukan karena bertambahnya jumlah konsumsi manusia, tetapi juga disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak disiplin dan bijaksana dalam menyikapi sampah. Berdasarkan data yang dirilis Kementeriam Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwasannya sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 17 persen, atau sekitar 11,6 juta ton, disumbang oleh sampah plastic (BNPB, 2021).
Masalah persampahan adalah masalah yang cukup pelik yang belum pernah tuntas hingga saat ini, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berbagai faktor penyebab sampah belum dikelola dengan baik dintaranya persfektif masyarakat penghasil sampah tentang pengelolaan sampah yang masih kurang yaitu masih cenderung kumpul angkut dan buang, bakar, timbun, bahkan membuang sembarangan di lingkungan. Desa Mlinjon juga merupakan salah satu desa yang tidak luput dari masalah sampah. Di desa ini banyak ditemukan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan, bahkan tidak jarang kebun dan sungai menjadi sasaran masyarakat dalam membuang sampah. Desa Mlinjon merupakan lah salah satu dari 152 desa yang ada di wilayah Kabupaten Trenggalek. kondisi wilayah Desa Mlinjon merupakan daerah pegunungan dan dataran. Desa Mlinjon adalah desa dengan luas 1.077.000 hektar yang terletak di wilayah Kecamatan Suruh Kabupaten Trenggalek.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara mendalam mengenai sistem pengelolaan sampah serta dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan yang ditimbulkan akibat keberadaan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di Desa Mlinjon. Fokus utama penelitian mencakup bagaimana mekanisme pengumpulan, pemilahan, dan pengangkutan sampah dilakukan oleh pihak terkait, serta bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul akibat kurangnya pengelolaan yang efektif, seperti pencemaran air dan tanah, bau tidak sedap, hingga potensi gangguan kesehatan masyarakat sekitar TPS. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan strategis bagi pemerintah desa dan stakeholder terkait untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.
Menurut penuturan Pak Toso, pemisahan antara sampah organik dan anorganik sebenarnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sampah yang tidak bisa dijual terpaksa harus dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sebagai solusi sementara, terutama untuk sampah yang tidak memiliki nilai jual, saat ini pengelola memilih membakarnya secara langsung. Sampah plastik menjadi salah satu yang umum dibakar, sementara botol dan kaleng yang masih bisa didaur ulang dipisahkan untuk dijual kembali. Beberapa waktu lalu sebenarnya sempat diadakan pelatihan terkait pemilahan sampah organik dan anorganik, namun upaya tersebut tidak berjalan maksimal karena kurangnya partisipasi dari masyarakat. Banyak warga yang enggan terlibat, bahkan bisa dikatakan malas untuk memilah sampahnya sendiri.
Beliau juga membandingkan dengan kondisi di kota, di mana limbah makanan sangat melimpah. Menurutnya, kalau hanya sekadar membuat hasil penelitian yang "bisa dipakai", itu mudah. Namun yang lebih sulit dan sering diabaikan adalah aspek efisiensi dan keberlanjutan dari sisi bisnisnya. Meski sebagian besar warga mendukung adanya pengelolaan sampah, tidak sedikit pula yang mengeluh saat dikenakan biaya tambahan. Misalnya, ketika biaya dinaikkan lima ribu rupiah, beberapa warga langsung protes. Padahal, menurut Pak Toso, idealnya biaya pengelolaan minimal berada di angka lima belas ribu rupiah per rumah tangga. Sayangnya, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sistem pengelolaan sampah ini masih rendah. Mereka belum sepenuhnya menyadari pentingnya keberadaan TPS, dan cenderung menganggapnya sebagai program yang bisa diabaikan.
Beliau juga menambahkan bahwa di kota, warga cenderung lebih mandiri dalam mengelola sampahnya karena memang tidak memiliki alternatif. Berbeda dengan di desa seperti Mlinjon, pengelolaan sampah masih bersifat setengah wajib, belum menyeluruh atau disadari sebagai kebutuhan bersama. Oleh karena itu, menurutnya sangat penting adanya campur tangan dari pemerintah, baik dalam bentuk dukungan dana maupun penyediaan alat-alat pendukung. Misalnya, seperti saat ini, pengelolaan sampah di Desa Mlinjon dilakukan dengan cara dibakar, dan baru dimulai sekitar satu bulan terakhir. Langkah ini juga merupakan bagian dari upaya pengurangan beban sampah dari kota yang diarahkan ke desa, yang menurutnya sudah berhasil mengurangi hingga 50%.
Namun hingga kini, di Desa Mlinjon belum tersedia fasilitas bank sampah yang seharusnya bisa menjadi solusi jangka panjang. Meski begitu, keberadaan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dinilai cukup membantu menjaga lingkungan tetap bersih, terutama untuk mencegah penyumbatan di aliran sungai akibat sampah liar. Pak Toso menekankan bahwa masyarakat masih perlu disadarkan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat dinilai sangat penting agar pengelolaan sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab pengelola, tapi juga bagian dari kesadaran kolektif warga desa. Ia juga menambahkan bahwa TPS sebenarnya bisa menjadi potensi desa yang bersifat instan dan bisa dikembangkan lebih lanjut. Saat ini, fasilitas yang tersedia di TPS termasuk alat pencacah (Chopper) untuk mengelola sampah organik agar bisa lebih mudah diolah atau dimanfaatkan kembali.
Masalah sampah merupakan persoalan serius yang masih belum terselesaikan baik di kota maupun di desa, termasuk di Desa Mlinjon. Sampah yang berasal dari aktivitas manusia sehari-hari terus meningkat, namun pengelolaannya masih menghadapi banyak kendala. Masyarakat cenderung belum memiliki kesadaran penuh untuk memilah dan mengelola sampah dengan benar, sehingga banyak sampah yang berakhir di sungai, kebun, atau dibakar sembarangan. Upaya pelatihan dan sosialisasi yang pernah dilakukan pun belum berjalan efektif karena kurangnya partisipasi warga.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah di Desa Mlinjon masih terbatas, terutama karena keterbatasan fasilitas, minimnya dukungan alat, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Meski telah ada Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan penggunaan alat pencacah sampah organik (chopper), peran aktif masyarakat masih belum maksimal. Pengelolaan yang dilakukan dengan cara pembakaran juga belum menjadi solusi ideal karena berisiko mencemari lingkungan dan kesehatan.
Untuk itu, diperlukan dukungan lebih lanjut dari pemerintah dan pemangku kepentingan, baik dalam bentuk pembiayaan, penyediaan sarana, maupun penyuluhan berkelanjutan. Bank sampah juga perlu mulai diinisiasi agar pengelolaan sampah menjadi lebih terstruktur dan bernilai ekonomis. Kesadaran kolektif, edukasi, serta peran aktif masyarakat adalah kunci utama dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, berkelanjutan, dan mampu menjaga kebersihan desa.
Divisi_Kesehatan Lingkungan